Assalamualaikum... jamaah islamiyah di dunia maya
perkenankan kami mengupas I'TIKAF dari beberapa penafsiran ulama ulama besar dan ahli kitab.
I’tikaf menurut kamus bahasa
Arab berasal dari akafa dengan makna,
menetap, mengurung diri. Menurut Imam Nawawi sebagai ulama mazhab syafi’i
definisi itikaf adalah “ menetapnya seorang dalam mesjid dengan disertai niat khusus”.
Sedangkan dalam mazhab hambali menurut Ibnu Hurairah “ Itikaf adalah suatu bentuk
menetap dalam masjid dengan dibarengi niat beritikaf “ dan Al-Ba’li
mendefinisikan bahwa” itikaf menetap dalam mesjid sambil melakukan amal ibadah
kepada Allah”. Sedangkan menurut Ibnu
Hajib dari mazhab Maliki “itikaf adalah
rutinitas seorang muslim yang telah dewasa untuk menetap dalam mesjid
dengan maksud beribadah yang dibarengi dengan shaum secara total dengan
menghindari melakukan hubungan suami istri sehari atau lebih dengan niat
itikaf”.
PENGERTIAN
Itikaf artinya tinggal diam di masjid dengan niat yang khusus. Menurut pendapat Hanafiah dan Hanabilah:
“Niat adalah syarat bukan rukun”, sedangkan menurut Malikiyah dan syafiiyah:”Niat merupakan rukun bukan syarat.”[1]
B. HUKUM ITIKAF
Hukum itikaf adalah sunnat, bisa jadi wajib bila dinazari, hal ini
disepakati oleh para ulama, hanya Malik yang berpendapat makruh karena
takut tidak terpenuhi syarat-syaratnya.[2]
C. SYARAT-SYARATNYA
Syarat-syarat itikaf ada tiga macam; yaitu:
a. Niat
b. Puasa
c. Tidak bersetubuh [3]
D. PELAKSANAAN I’TIKAF
Ada perbedaan pendapat mengenai kegiatan yang bisa dilakukan pada
saat itikaf. Menurut Ibnu Qasim, itikaf hanya berupa shalat, zikir
kepada Allah, dan membaca Al-quran. Hal ini juga didukung oleh
Asy-Syafii dan Abu Hanifah. Sedangkan menurut Ibnu Wahab, berupa segala
amal perbuatan untuk taqarrub kepada Allah dan segala kebaikan yang
menyangkut akhirat, termasuk melayat jenazah, menjenguk orang sakit, dan
menuntut ilmu. Hal ini didukung oleh Ats-Tsauri.
“Barangsiapa beritikaf janganlah bersetubuh, berkata keji, dan
mencaci, hendaklah dia mengikuti salat jumat dan melayat jenazah serta
memberi pesan kepada keluarganya kalau perlu dan dia sendiri tidak
duduk.”[Diriwayatkan oleh Ali]
Hadits diatas berlawanan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah
ra yaitu: “Bahwa orang yang beritikaf tidak boleh melayat dan menjenguk
orang sakit.”[4]
E. WAKTU ITIKAF
Menurut jumhur ulama waktu itikaf tanpa batas, namun yang lebih utama
adalah sepuluh hari pada bulan Ramadhan. Pendapat ini didukung oleh
Asy-Syafi dan Abu Hanifah. Berbeda dengan pendapat dari Malik, beliau
berpendapat dua macam, tiga hari atau sehari semalam. Sedangkan Ibnu
Qasim berpendapat 10 hari tetapi tidak dikhususkan pada bulan Ranadhan.
Menurut ulama Baghdad berpendapat bahwa minimal sehari semalam dan
disunnatkan sepuluh hari. Nabi saw mengerjakan itikaf sekurang kurangnya
sepuluh hari, hal ini terdapat pada hadits Nabi saw:
Artinya: Bahwasannya Nabi saw. Beri’tikaf setiap Ramadhan selama
sepuluh hari, maka tatkala pada tahun terakhir [sebelum wafat], beliau
melaksanakan I’tikaf selama 20 hari. (HR Bukhari) [5]
a. Waktu Memulai
Menurut Malik, Asy-Syafii dan Abu Hanifah orang yang bernazar itikaf
semalam bulan romadhan harus memulai dengan masuk masjid sebelum
matahari terbenam. Kalau nazarnya hanya sehari semalam, Asy-Syafii
berpendapat bahwa masuknya ke mesjid sebelum terbit fajar, dan keluarnya
sesudah matahari terbenam. Sedangkan Malik berpedapat bahwa
ketentuannya sama dengan nazar selama sebulan, yakni dimulai sebelum
matahari terbenam.[6]
Mengenai awal pelakasanaannya, dalam Hadits tertera, yang artinya,
“Apabila ingin beri’tikaf Shalat fajarlah (shalat Subuh) lalu masuklah
ke tempat I’tikafnya.”[7]
b. Waktu Keluar Masjid
Ada juga perbedaan pendapat mengenai hal ini, Malik berpendapat bahwa
orang yang beritikaf 10 hari akhir bulan ramadhan disunatkan keluar
dari masjid untuk mengikuti shalat hari raya. Kalau keluar sesudah
matahari terbenam sudah cukup hitungannya. Tetapi menurut Asy-Syafii dan
Abu Hanifah, mereka berdua berpendapat bahwa orang itu harus keluar
dari masjid sesudah matahari terbenam. Perbedaan pendapat ini masalahnya
terletak pada apakah sisa malam (malam hari raya) itu termasuk 10 yang
akhir atau tidak.[8]
F. TEMPAT PELAKSANAAN
Menyangkut masalah tempat pelaksanaan itikaf ada dua pendapat yang berbeda dikalangan para ulama; yakni:
1. Hanya dapat dilaksanakan ditiga buah mesjid, yakni: masjidil
haram, masjid nabawi, dan masjid aqso. Hal ini menurut Hudzaifah dan
Said bin al Musayyab, berdasarkan dari hadits : Artinya: Beberapa
kendaraan tidak diberangkatkan kecuali ketiga masjid; masjid haram,
masjidku ini dan masjid Aqso” (HR Bukhari, Muslim)
2. Menurut Syafii, Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan mazhab malik, setiap mesjid boleh untuk tempat melaksanakan itikaf.[9]
G. APAKAH ITIKAF HARUS DIBARENGI DENGAN PUASA
Dalam hadits dijelaskan yang artinya: Sesungguhnya umar r a berkata:
“Wahai rasulullah sesungguhnya saya telah bernazar pada masa jahiliah
akan beritikaf semalam di masjid harom maka beliau pun
bersabda:”penuhilah nazarmu.”[H R Bukhari dari Ibnu Umar][10]
Menurut Malik, Abu Hanifah dan segolongan ulama itikaf tidak sah
kecuali dengan puasa. Sedang menurut Asy-Syafii boleh tanpa berpuasa
mazhab malik mendasarkan pendapatnya berdasarkan riwayat Abdul Rahman
bin Ishak, dari Urwah, dari Aisyah berkata: ajaran untuk orang yang
beritikaf tidak menjenguk orang sakit, melayati jenazah, menyentuh
perempuan, menyetubuhinya dan keluar kecuali untuk keperluan yang tidak
dapat dihindari. Itikaf tidak sah kecuali dengan berpuasa dan tidak sah
kecuali di masjid
SO.... YUK KITA MELAKUKAN ITIKAF